Oleh: Solikhan
Pendahuluan
Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 bukanlah buah kebetulan sejarah, melainkan hasil dari perjuangan panjang dan idealisme luhur para pendiri bangsa. Cita-cita mereka terangkum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang memuat semangat untuk membentuk suatu negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Namun, setelah hampir delapan dekade merdeka, demokrasi politik Indonesia justru memperlihatkan wajah yang sering kali bertentangan dengan cita-cita mulia tersebut.
Cita-Cita Pendiri Bangsa: Negara Keadilan dan Kesejahteraan
Soekarno, dalam pidato "Lahirnya Pancasila" (1 Juni 1945), menekankan pentingnya persatuan, keadilan sosial, dan kedaulatan rakyat. Ia mengatakan, “Dasar negara, yaitu kebangsaan Indonesia, bukan kebangsaan yang sempit, tetapi kebangsaan yang merdeka, kuat, dan demokratis.” Sementara itu, Mohammad Hatta mengingatkan bahwa kemerdekaan bukanlah akhir, tetapi sarana untuk menciptakan keadilan sosial.
Cita-cita tersebut secara eksplisit termuat dalam kalimat “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…” Sebuah misi luhur yang menjadikan rakyat sebagai poros kekuasaan dan negara sebagai alat pelayanan, bukan alat dominasi.
Demokrasi Politik Hari Ini: Antara Aspirasi dan Manipulasi
Realita politik hari ini memperlihatkan adanya jarak antara idealisme kemerdekaan dan praktik demokrasi. Demokrasi yang seharusnya menjadi mekanisme partisipasi rakyat, justru kerap dibajak oleh kepentingan elite. Politik transaksional, dinasti politik, dan komodifikasi suara rakyat menjadi fenomena umum dalam setiap momentum pemilu.
Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, pakar hukum tata negara, “Demokrasi tanpa etika akan berubah menjadi tirani mayoritas dan pasar bebas kekuasaan.” Ia menegaskan pentingnya constitutional morality dalam menjaga marwah demokrasi. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: demokrasi prosedural menjadi panggung teatrikal, di mana suara rakyat hanya penting saat pemilu, lalu dilupakan pasca penghitungan suara.
Di tingkat internasional, Fareed Zakaria dalam bukunya “The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad” memperingatkan tentang fenomena illiberal democracy — ketika negara mengadopsi mekanisme demokrasi (seperti pemilu), tetapi mengabaikan substansi hak asasi dan supremasi hukum. Ini sejalan dengan kondisi Indonesia hari ini, di mana kebebasan berpendapat dan independensi institusi seringkali terancam oleh dominasi kekuasaan.
Paradoks Demokrasi dan Dilema Institusional
Salah satu kontradiksi nyata adalah lemahnya institusi penegakan hukum dalam menghadapi dominasi politik. Lembaga-lembaga seperti KPK, yang dulu menjadi simbol harapan, kini sering dicurigai telah dilemahkan. Di sisi lain, praktik oligarki ekonomi-politik semakin menguat, menggerus prinsip keadilan sosial yang menjadi ruh Pancasila.
Menurut Larry Diamond, ilmuwan politik dari Stanford University, “Democracy is more than a set of institutions; it is a culture of accountability and a habit of the heart.” Artinya, demokrasi bukan hanya tentang pemilu, melainkan tentang tanggung jawab dan kepercayaan publik. Ketika kepercayaan ini hilang, demokrasi tinggal nama.
Penutup: Menghidupkan Kembali Jiwa Proklamasi
Indonesia bukan kekurangan sistem, tetapi kekurangan karakter dan keteladanan. Demokrasi kita bukan gagal, tetapi dikorupsi oleh mereka yang memandang kekuasaan sebagai hak, bukan amanah. Sudah saatnya semangat kemerdekaan dikembalikan pada jalurnya: mewujudkan keadilan sosial, menjamin partisipasi bermakna, dan memuliakan kedaulatan rakyat.
Kita perlu kembali mendengar suara Bung Hatta yang pernah berkata, “Indonesia merdeka bukan tujuan, melainkan syarat untuk mencapai kehidupan yang adil dan makmur.” Jika kita terus mengkhianati semangat itu, maka yang tinggal dari republik ini hanyalah formalitas: bendera yang dikibarkan tanpa makna, dan konstitusi yang dibaca tanpa jiwa.
---
Tulisan ini bisa Anda nikmati sambil ngopi maupun duduk samping istri. Salam ngopi...!!!
Komentar
Posting Komentar