ASWAJA: Singkatan Bukan Sekadar Label
Kamu pasti pernah denger istilah “ASWAJA”—entah dari guru ngaji, pesantren, atau saat scroll medsos. Tapi sebenarnya, ASWAJA itu bukan sekadar label keren buat branding keislaman, lho.
ASWAJA adalah singkatan dari Ahlussunnah wal Jama’ah, yang secara harfiah berarti “pengikut sunnah Nabi dan kebersamaan (jama’ah)”. Maksudnya: kelompok umat Islam yang berpegang teguh pada ajaran Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan jalan para ulama setelahnya.
Imam Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani (w. 489 H) dalam al-Intiṣār li Ahl al-Ḥadīṡ menegaskan bahwa:
> "Setiap orang yang berpegang pada hadits Nabi, dan hidup di atas jalan sahabat, dia adalah bagian dari Ahlussunnah wal Jama’ah."
Artinya, jadi ASWAJA itu bukan soal atribut, tapi soal manhaj (jalan berpikir dan bersikap).
---
Ahlussunnah wal Jama’ah: Nama Keren Umat Tengah
Salah satu ciri utama ASWAJA adalah moderat. Nggak nyeleneh kanan, nggak ngaco kiri. Dalam istilah ilmiahnya: tawasuth (pertengahan), tawazun (seimbang), dan tasamuh (toleran).
Nggak gampang nyalahin orang, tapi juga nggak cuek terhadap penyimpangan. Prinsipnya jelas:
Yang haq tetap haq, yang batil tetap batil.
Tapi cara menyampaikan harus santun dan bijak.
Imam al-Ghazali dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn sering mengingatkan bahwa kebenaran itu penting, tapi tidak kalah penting adalah akhlak dalam menyampaikan kebenaran.
---
Siapa Aja yang Termasuk ASWAJA?
Dalam bidang fikih, mayoritas umat Islam yang mengikuti salah satu dari empat mazhab besar—Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali—termasuk dalam kelompok ASWAJA.
Sedangkan dalam aqidah, dua tokoh besar yang menjadi rujukan ASWAJA adalah:
Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 324 H)
Imam Abu Manshur al-Maturidi (w. 333 H)
Dua imam ini dikenal sebagai penjaga aqidah Islam dari penyimpangan, baik dari arah rasionalisme ekstrem (seperti Mu’tazilah) maupun dari faham literal tanpa kontekstual (seperti kaum mujassimah).
Kalau kamu ziarah kubur, baca qunut Subuh, atau tahlilan bareng tetangga, besar kemungkinan kamu sudah menjalankan tradisi ASWAJA. Bukan karena ikut-ikutan, tapi karena memang itu yang diwariskan oleh ulama Nusantara kita.
---
Kenapa Kita Harus Ikut ASWAJA?
Jawaban singkatnya: karena ini jalan yang lurus tapi nggak kaku, luas tapi nggak lepas.
ASWAJA ngajarin kita untuk:
Beragama dengan ilmu, bukan asumsi.
Mengikuti ulama yang bersambung sanadnya ke Nabi SAW.
Menghindari fanatisme buta, tapi juga nggak ikut arus aja.
Menurut Prof. KH. Said Aqil Siradj, ASWAJA itu bukan hanya soal aqidah, tapi juga cara berislam yang beradab, ramah, dan penuh kasih sayang (Islam Nusantara: Relasi Agama dan Budaya, 2015).
Dan lebih dari itu, ASWAJA adalah perekat umat di tengah perbedaan. Di saat banyak kelompok saling serang dan menyesatkan, ASWAJA hadir membawa udara sejuk: dakwah santun, cinta damai, dan tetap tegas dalam prinsip.
---
Penutup Bab
Jadi, ASWAJA bukan hal baru. Ia adalah warisan panjang dari ulama-ulama agung sejak abad pertama Hijriyah sampai hari ini. Kalau kamu mau jadi muslim yang lurus, lembut, dan lurus jalan—ASWAJA tempatnya.
Komentar
Posting Komentar