Langsung ke konten utama

ASWAJA SEBAGAI MANHAJUL FIKR WAL HAROKAH

(Disusun oleh : Solikhan)
Disampaikan pada PKD PMII Komisariat Nusantara UMNU Kebumen
Kamis, 8 Agustus 2019
di Bumi Perkemahan Widoro

Pokok bahasan
Latar belakang sosio-politik dan sosio-kultur kemunculan Ahlussunnah wal Jama'ah dan proses pelembagaan madzhab
Ahlussunnah wal Jama'ah sebagai doktrin
Sanad ke-Islaman dalam ajaran yang benar, yang dijalankan oleh Rosulullah SAW dan para sahabat, Tabiin, Tabiit-tabiin, Ulama, dst
PMII sebagai organisasi pewaris Sanad Ajaran Islam yang benar, didirikan oleh ulama dan mendapatkan mandat untuk memperjuangkan Islam Aswaja di Kampus
Ahlussunnah wal Jama'ah sebagai Manhajul Fikr (Metode berfikir) dan sebagai Manhajul Harokah (Metode bergerak)
Memahami kerangka berfikir Ahlussunnah wal Jama'ah yang dinukil dari perjalanan para Ulama Ahlussunnah wal Jama'ah
Memahami dan mengimplementasikan metode berfikir Ahlussunnah wal Jama'ah dalam berdakwah dan menyikapi persoalan Geo-Ekosospol

عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنه ,قال: قال رسول الله (صلعم) إن بني إسرائيل افترقوا على احدى  وسبعين ملة, وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة، قالوا من هي يارسول الله: قال ما انا عليه اليوم وأصحابي

Muqaddimah
Aswaja pada masa Rasulullah SAW masih hidup sudah pernah ada tetapi tidak menunjuk pada kelompok tertentu atau aliran tertentu. Yang dimaksud dengan Ahlussunah wal Jama’ah adalah orang-orang Islam secara keseluruhan, namun demikian Istilah Aswaja itu sendiri pada saat Rasulullah Saw masih hidup belum pernah ada. Karena istilah Ahlussunah wal Jama’ah muncul pada masa-masa akhir Shahabat, yaitu pada masa setelah perang Shiffin hingga muncul berbagai aliran politik (firqoh-firqoh) dalam Islam, itupun Istilah Aswaja baru dalam rangka mendefinisikan para penganut ajaran Nabi yang masih murni dan konsekuen, tidak tertarik untuk masuk dalam firqoh manapun, menjadi penjaga syari’at Islam yang murni. Aswaja baru pada abad ke IV H dipakai untuk menisbatkan pada golongan penganut aliran Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi yang lebih dikenal dengan kaum Sunni, baru pada abad ke XIV secara lebih tegas oleh Murtadho Al-Zabidi Ahlussunah Wal Jamah di pakai sebagai nama pengikut Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi, Ahlussunah wal jama’ah di Indonesia oleh Simbah Hasyim Asy’ari pada tahun 1926 M disebut sebagai aliran Islam yang secara aqidah mengikuti Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan abu Mansur Al-Maturidi dan secara Fiqh mengikuti Imam Hanafi, Maliki, Hambali dan Imam Syafi’i serta secara Tasawuf mengikuti Imam Abu Hamid Al-Ghozali dan Imam Junaedi Al-Baghdadi, Aswaja dalam PMII bermetamorfosis sebagai Manhaj al-fikr dan Manhaj al-Taghayur Al-Ijtima’i dalam mewujudkan Manhajul Harakah. Dalam makalah ini akan dipaparkan Historitas Aswaja dari masa kemasa dan perkembangannya hingga ke Indonesia sampai melahirkan tradisi lokal, Islam Khas Indonesia, Islam Nusantara, Islam Ke-Indonesiaan.

PENGERTIAN ASWAJA
Untuk memahami Ahlussunah Wal Jama’ah secara lebih konprehensif perlu mengetahui pemaknaannya baik secara etimologis (lughowi) maupun terminologis (isthilahi). Secara etimologis terdiri dari 3 kata bahasa Arab:
اهل Ahlun :Scr etimologis memiliki beberapa makna, antara lain keluarga, pengikut atau penganut, penguasa, Istri dan lain-lain. Sedangkan makna terminologinya adalah pemeluk aliran atau pengikut madzhab.
السنه Sunnah :Jalan, al-Hadits
والجماعه Jama’ah :sekumpulan orang yang memiliki tujuan
Secara Terminologi penulis menyitir pendapat Al-Buraikan dalam, al-Madkhal li ‘Aqidah Ahlal-Sunnahsebagai berikut:
المتبعون للعقيدة الإسلامية الصحيحة، الملتزمون منهج الرسول صلى الله عليه وسلم وأصحابه والتابعين وتابعيهم بإحسان إلى يوم الدين.
“Para pengikut akidah Islam yang benar, yakni orang-orang yang berpegang teguh pada jalan (manhaj) yang ditempuh oleh rasulullah Saw. para sahabat, tabi’in, pengikut tabi’in hingga hari kiamat”.Menurut al-Thabari ada empat pendapat:
Kelompok besar dari penganut agama Islam (al-sawad al-a’dzam min ahl al-Islam),
Mujtahid yang menempuh jalan kelompok yang selamat (a`immah al-‘ulama al-mujtahidin al-mutabbi’in li manhaj al-furqah al-najiyah),
Sahabat secara khusus, dan
orang-orang yang menyepakati pemimpin syar’i.
MenurutAl-Syathibi ada lima pendapat, yaitu ditambah pendapat yang mendefinisikan al-jama’ah dengan “mayoritas umat Islam (jama’ah ahl al-Islam”)
Selayang pandang sejarah Aswaja
Rasulullah Muhammad Saw adalah pembawa ajaran Islam yang murni, sehingga kebenaran Islam ada pada setiap ajaran dari Rasul berbentuk Sunnah Nabi, Saat Rasulullah masih hidup semua persoalan selesai di hadapan Nabi karena ada bimbingan langsung dari Allah berupa Wahyu, namun pada saat Rasulullah Saw telah wafat, kendatipun umat Islam sudah mendapatkan 2 warisan besar yang dengannya kehidupan umat tidak akan sesat yaitu berupa Al-Qur’an dan Sunah Nabi, Namun perpecahan Umat Islam toh dalam sejarah terjadi sedemikian memilukan, tepatnya setelah terbunuhnya Khalifah Ustman ra perpecahan umat Islam tidak bisa terhindarkan oleh karena terpilihnya Ali bin Abi Thalib yang tidak didukung oleh sebagian tokoh Islam seperti Sayyidatina ‘Aisyah ra, meskipun awalnya menyepakati dengan syarat akhirnya berujung terjadinya perang Jamal, sama juga Gubernur Muawiyah yang sejak awal tidak sepakat Ali bin Abi Tahlib sebagai Khalifah akhirnya memberontak dan terjadiah perang Shiffin (sekitar tahun 35-40 H) yang berakhir dengan perundingan (Tahkim/Abritase) antara Abu Musa Al-Asy’ari dari kubu Ali bin Abi Thalib dan Amri Bin Ash dari kubu Muawiyah, secara siyasat politik Muawiyah lebih di untungkan dalam tahkim tersebut, meskipun kubu Muawiyah sebetulnya secara jelas telah kalah perang dengan kubu Ali Bn Abi Thalib, peperangan tersebut mengakibatkan ribuan umat Islam meninggal dunia dengan sia-sia. Pada saat itulah muncul, firqoh-firqoh dalam Islam, seperti Saba’iyah (Syiah) penggila Ali yang masih setia membuat firqoh menentang pemerintahan Muawiyah hasil Tahkim, kelompok Khawarij yang awalnya penggila Ali yang keluar membuat kelompok sayap politik diluar garis penggila Ali dan memusuhi kubu Muawaiyah, karena menganggap Ali dan Muawiyah membuat perundingan yang tidak berdasarkan Wahyu Allah (Al-Qur’an), dari kelompok Muawiyah belakangan membuat sayap politik demi untuk melegitimasi kelompoknya yang disebut Jabariyah yang mengakomodasi ajaran Fatalisme (menganggap semua yang terjadi di dunia ini adalah taqdir Tuhan, termasuk kemenangan Muawiyah dalam Tahkim terhadap Ali bin Abi Thalib adalah Taqdir Tuhan yang harus diterima apa adanya), muncul juga kelompok politik lain sebagai antitesis terhadap kelompok Jabariyah yaitu Qodariyah, yang didirikan oleh cucu dari Ali bin Abi Thalib bernama Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib,  yang berpendapat kebalikan dari paham jabariyah yaitu bahwa segala sesuatu sesuai dengan kehendak manusia, Tuhan tidak berpern apa-apa terhadap taqdir manusia karena taqdir ditentukan oleh manusia itu sendiri. Semakin maraknya bermunculan firqoh-firqoh dalam Islam tersebut yang masing-masing mengklaim dirinya palingg benar hingga sampai pada pengkafiran dan pembunuhan kelompok lain di luar dirinya yang sebetulnya masing-masing bertendensi Politik atau Kekuasaan, Namun ada beberapa kelompok orang yang sama sekali tidak tertarik untuk ikut-ikutan hiruk-pikuk politik yang terjadi pada dunia Islam masa itu, mereka lebih memilih mempertahankan, mengembangkan, mengamalkan dan menegakkan kehidupan keberagamaan Islam yang dilestarikan dan pertahankan murni dari Rasulullah SAW, sehingga mereka lebih memilih untuk mensyi’arkan agama Islam dan menjalankan secara konsekuen dari pada ikut-ikutan berebut kekuasaan dan bergelut politik dengan firqoh-firqoh politik lain. Mereka lebih enjoy mendalami al-Qur’an dan hadits-hadits nabi sehingga menjadi Ilmu dan pengetahuan untuk kemudian diajarkan kepada murid dan sanak familinya, sehingga mereka ini nantinya diakui sebagai penjaga syari’at Islam yang murni dari Rasulullah Saw tanpa tercampuri oleh noda kepentingan politik sekalipun, mereka di motori oleh para sahabat-sahabat generasi Junior (Sighar al-Shahabah) seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Said al-Khudri dan lain-lain, golongan inilah nantinya menjadi cikal bakal golongan Ahlussunah Wal Jama’ah yang memiliki ajaran Islam yang murni dan konsekuen sesuai dengan manhaj Nabi Muhammad SAW.
Latar belakang sosio-politik dan sosio-kultur kemunculan Ahlussunnah wal Jama'ah dan proses pelembagaan madzhab

Latar belakang munculnya ASWAJA erat hubunganya dengan kemunculan persoalan Kalam. Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang mengangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan yang berujung pada penolakan Mu’awiyah terhadap kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan ini mengakibatkan timbulnya perang siffin yang berakhir dengan keputusan tahkim(arbitrase).
Kemudian hal ini mengakibatkan perpecahan di pasukan Ali sehingga pasukan Ali terbagi menjadi dua. Yang tetap mendukung keputusan Ali disebut golongan Syi’ah sedangkan yang tidak setuju dan keluar dari pasukan Ali disebut golongan Khawarij.
Harun lebih lanjut melihat bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang tidak kafir. Persoalan ini telah menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam, yaitu:
Aliran Khawarij, menegaskan bahwa orang berdosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari islam(murtad)dan wajib di bunuh.
Aliran Murji’ah, menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa besar yang dilakukannya, hal itu terserah kepada Allah untuk mengampuni atau menghukumnya.
Aliran Mu’tazilah, yang tidak menerima kedua pendapat diatas. Bagi mereka, orang yang berbuat dosa besar bukan kafir tapi bukan pula mukmin. Mereka mengambil posisi antara mukmin dan kafir yang dalam bahasa arabnya dikenal dengan istilah al-manzilah manzilatain.
Dalam islam kemudian muncul lagi dua aliran yaitu Qadariyah dan Jabariyah. Menurut Qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Sedangkan Jabariyah berpendapat sebaliknya yaitu manusia tidak punya kemerdekaan berkehendak dan berbuat.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan dari golongan hambal yang mengambil bentuk aliran tradisional yang dipelopori oleh Abu Hasan Al-Asy’ari(935 M).dan juga dari teologi Maturidiyah yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi.
Aliran-aliran Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi saat ini, kecuali  dalam sejarah. Adapun yang masih ada sampai saat ini adalah aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah yang dikenal dengan ahlusunnah wal jama’ah.
Khawarij
Subsekte khawarij yang sangat ekstrim yaitu Azariqah, menggunakan istilah yang lebih mengerikan daripada kafir yaitu musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung dalam barisan mereka, sedangkan pelaku  dosa besar dalam pandangan mereka disebut kafir millah(agama), dan itu artinya dia sudah keluar dari islam. Si kafir semacam ini kekal di neraka bersama orang kafir lainnya.
Subsekte Najdah tak jauh berbeda dari Azariqah. Jika Azariqah memberi predikat kepada umat islam yang tidak masuk dalam kelompok mereka, Najdah pun memberi predikat  yang sama terhadap orang yang melakukan dosa kecil secara berkesinambungan. Akan halnya dengan dosa besar yang dilakukan tidak terus menerus, pelakunya dipandang kafir dan jika dilakukan secara kontinu dipandang musyrik.
Iman dalam pandangan khawarij tidak hanya percaya kepada Allah, mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Dengan demikian, siapapun yang menyatakan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetaapi tidak melaksanakan kewajiban agama malah melakukan perbuatan dosa, ia dipandang kafir oleh khawarij.
Subsekte Khawarij yang sangat moderat (Ibadiyah) memilikki pandangan yang berbeda bahwa setiap pelku dosa besar tetap sebagai muwahhid (yang mengesakan Tuhan), tetapi bukan mukmin atau disebut kafir nikmat dan bukan nikmat millah(agama). Siksaannya di neraka selamanya bersama orang kafir lainnya.

Murji’ah
Subsekte Murji’ah ekstrim(Murji’ah Bid’ah) berpendapat bahwa keimanan terletak dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya menggambarkan apa yang ada didalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan.
Kredo kelompok Murji’ah ekstrim yang terkenal adalah “Perbuatan tidak dapat menggugurkan keimanan, sebagaimana ketaatan pun tidak dapat membawa kekufuran .“ Dapat disimpulkan bahwa kelompok ini memandang bahwa pelaku dosa besar akan disiksa di neraka.
Sementara Murji’ah moderat berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal didalamnya, bergantung pada dosa yang dilakukannya. Kendati pun demikian, masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga bebas dari siksa neraka.
Pendapat Abu Hanifah tentang pelaku dosa besar dan konsep iman tidak jauh berbeda dengan kelompok Murji’ah moderat lainnya. Ia berpendapat bahwa seorang pelaku dosa besar masih tetap mukmin, tetapi bukan berarti bahwa dosa yang diperbuatnya tidak berimplikasi. Andaikata masuk neraka, karena Allah menghendakinya, ia tak akan kekal didalamnya. Disamping itu, iman menurut Abu Hanifahadalah iqrar dan tashdiq. Ditambahkannya pula bahwa iman tidak berkurang dan tidak bertambah. Agaknya ini merupakan sikap umum yang ditunjukkan oleh Murji’ah baik ekstrim maupun moderat.
Paham Qadariyah dan Jabariyah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminology, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinterverensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendak sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuasaan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai Qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Jabariayah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Didalam Al-munjid, dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Lebih lanjut Asy-Syahratsan menegaskan bahwa paham al-jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah. Dengan kata lain, manusia mengerjakn perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa inggris, Jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.
Asy-Syahratsani, Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, ekstrim dan moderat. Diantara doktrin Jabariyah ekstrim adala pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia  bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauan sendiri, tapi timbul karena qadha dan qadar  Tuhan yang menghendaki demikian.
Berbeda dengan jabariyah ekstrim, jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia punya bagian dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab(acquisitin). Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur(dipaksa Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan.
Mu’tazilah
Secara harfiyah kata mu’tazilah berasal dari kata I’tazila yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang dalam al-ushul al-khamsah adalah :
At-tauhid
At-tauhid (pengesaan Tuhan)merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah. Bagi mu’tazilah tauhid memiliki arti yang sfesifik. Tuhan harus di sucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi kemahaesaan-Nya. Oleh karena itu, hanya Dialah yang qadim. Bila ada yang qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’addud al-qudama.
Untuk memurnikan keesan Tuhan (tanzih), mu’tazilah menolak konsef Tuhan memiliki sifat-sifat penggambaran fisik Tuhan (antromorfisme tajassum), dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Dia maha melihat, mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya itu bukan sifat melainkan dzat-Nya.
Al-Adl
Al-Adl berarti Tuhan maha adi. Adil ini merupakan sifat yang gambling untuk menunjukkan kesempurnaan. Tuhan dipendang adil apabila bertindak hanya yang baik(ash-shalah) dan terbaik (al-ashlah0, dan bukan yang tidak baik.
Al-wa’d wa al-wa’id
Al-wa’d wa al-wa’id berarti janji dan ancaman. Tuhan yang maha adil dan maha bijaksana, tidak akan melanggar janji-Nya. Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya sendiri, yaitu member pahala surge bagi yang berbuat baik(al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka (al-ashi).
Al-Manzilah bain al-manzilatain
Ajaran ini terkenal dengan status orang mukmin yang melakukan dosa besar. Pokok ajaran ini adalah bahwa mukmin yang melakukan dosa besar dan belum tobat buakan lagi mukmin atau kafir, tetapi fasik.
Al-Amr bi al-ma’ruf wa An-Nahy an Munkar
Ajaran dasar kelima adalah menyuruh kebajikan dan melarang kemungkaran (Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Munkar. Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Perbedaan mazhab mu’tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut mu'tazilah, jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Sejarahpun telah mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya.
Asy’ariyah
Kaum Asy’ariyah adalah aliran sinkretis yang berusaha mengambil sikap tengah-tengah antara dua kutub akal dan naql, antara kaum Salaf dan kaum Mu’tazilah. Kaum Asy’ariyah puas dengan menyelaraskan antara kedua belah pihak, mencapai pandangan tengah-tengah yang akhirnya dijadikan prinsip yang dipegangi secara teguh oleh generasi kemudian dan menjadi mantap khususnya di abad-abad terakhir.
Gerakan Asy’ariyah mulai abad ke-4 H. terlibat dalam konflik dengan kelompok-kelompok lai, khususnya Mu’tazilah.hingga hari ini, pendapat Asy’ariyah tetap menjadiakidah ahl as-sunnah. Pendapatnya dekat sekali dengan pendapat Maturidi yang satu saat pernah ia disebabkan persaingan dalam masalah fiqh, karena ia mewakili orang-orang Syafi’iah dan Malikiah mendominasi pendapat Asy’ari.
Para pengikut imam Syafi’i dan Maliki mendukung kaum Asy’ariyah, dan berjuang keras untung menyebarkannya hingga ke Andalusia dan Afrika Utara.
Maturidiyah
Al-Maturidi merupakan salah satu sekte ahl as-sunnah wal jama’ah, yang tampil bersama dengan Asy’ariyah. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstriminitaskaum rasional dimana yang berada di barisan depan adalah Mu’tazilah, maupun ekstriminitas kaum tekstualis dimana yang berada pada barisan paling depan adalah kaum Hanabilah (imam Hambal).

Ahlussunnah wal Jama'ah Sebagai Doktrin
Lahirnya Nama Aswaja
Term Ahlussunah wal Jama’ah pada masa Nabi Muhammad Saw masih hidup belum dikenal, bahkan istilah ini tidak pernah ada di Al-Qur’an dan Al-Hadits, namun istilah yang sepadan dengan ini sekaligus menjadi hujjah adanya Istilah Ahlusunah wal Jama’ah adalah Hadits dari Abdullah Ibn Umar yang berbunyi ما انا عليه اليوم وأصحابي.hadits tersebut menjelaskan bahwa bahwa golongan yang selamat ketika umat berpecah-belah adalah golongan yang konsisten dan selalu mengikuti ajaran Nabi dan ajaran Sahabatnya.
Setelah terjadi perpecahan umat Islam dengan ditandai munculnya banyak firqoh-firqoh dalam Islam, maka pada akhir periode generasi sahabat Nabi istilah Ahlussunah wal Jama’ah mulai banyak diperbincangkan dan dipopulerkan sebagai nama bagi kaum Muslimin yang masih berpegang teguh dengan ajaran Islam yang murni dan tidak terpengaruh dengan ajaran-ajaran baru yang keluar dari mainstrem. Dalam pada itu Istilah ASWAJA untuk kali pertama digunakan oleh sahabat Ibnu Abbas (selaku salah satu Shighar al-Shahabah), dalam menafsirkan ayat al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 106 sebagai berikut:
قال ابن عباس رض في قوله تعالي : يوم تبيض وجوه وتسود وجوه :(سورة: ال عمران 106) فاما الذين ابيضت وجوههم فاهل السنة والجماعة واولوالعلم , واماللذين اسودت وجوههم فاهل البدع والضلا لة.

Pada generasi Tabi’in dan Ulama Salaf sesudahnya istilah ASWAJA semakin populer seperti : Khalifah Yang Shaleh Umar bin Abdul Aziz, Al-Imam al-Hasan bin Yasar al-Bashri, al-Imam Muhamad bin Sirin, Imam Sufyan bin Sa’id al-Tsauri, Imam Malik bin Anas dan lain.

Al-Asy’ari (260H/873M - 324H/935M) dan Al-Maturidi (260H/873M - 324H/935M)
Paham Qodariyah pada gilirannya nanti dijadikan sebagai paham resmi negara pada Dinasti Abasiyah yang biasa dikenal dengan aliran Mu’tazilah, sebuah aliran rasionalis hingga memposisikan akal melebihi Wahyu, dan segala sesuatu harus sesuai dengan akal termasuk Wahyu, jika tidak sesuai meski Wahyu sekalipun harus di tolak. Demi tegak nya paham ini bahkan dinasti Abasiyah memberlakukan Mignah kepada para penentang paham Mu’tazilah tersebut. Pada saat gencarnya aliran Mu’tazilah ini kemudian muncullah Ulama besar pada abad yang mulanya pengikut sekaligus penjaga aliran Mu’tazilah yaitu Abu Hasan Al-Asy’ari yang keluar dari Mu’tazilah kemudian menjadi penjaga Sunah Nabi, Beliau memproklamasikan kembali pada “maa anna alaihi wa ashabihi” sebuah kelompok dimana Rasulullah dan para Sahabat berada di dalamnya. Nah paham tengah ini yang merujuk kepada maa alaihi wa ashabihi yang kemudian oleh Abu Hasan Al Asy’ari ini disebut sebagai Ahlussunah wal Jama’ah, Ulama yang sezaman dengan corak idiologi yang sama dengan Asya’ri juga diakui sebagai penjaga Sunah Nabi yang lain adalah Abu Mansur Al-Maturidi.
Kemudian dalam bidang Fiqih lahirlah ulama-ulama besar yang merumuskan fiqih dengan mendasarkan kepada Ahlussunah, artinya kepada kebiasaan-kebiasaan Rasulullah dan para Sahabat (para Sahabat itu artinya wal Jama’ah) seperti Imam Abu Hanifah, kemudian Imam Malik, Imam Syafi’i, kemudian Imam Ahmad bin Hanbal yang merupakan korban dari kekuasaan Bani Abassiyah ketika mengharuskan warganya menggunakan aliran yang dikembangkan oleh Mu’tazilah dalam bidang Fiqih. Dan masih banyak imam-imam yang lain tetapi yang paling kita kenal adalah ini, yang kita sebut dengan empat madzhab.
Sehingga orang Ahlussunah wal Jama’ah sering dikatakan: “orang Islam yang secara teologi mengikuti ijthad Abu Hasan Al Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi dan secara Fiqih mengikuti ijtihad salah satu madzhab yang empat yaitu Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Maliki kemudian dalam bidang tasawuf mengikuti ijtihad ulama besar Imam Al Ghazali.
Istilah Aswaja kemudian secara lebih spesifik pada abad ke XIV sampai sekarang digunakan untuk istilah para pengikut Abu Hasan Al-Asy’ri dan Abu Mansur Al-Maturidi sebagaimana di sebutkan oleh Al-Murtadho Al-Zabidi Sebagai Berikut:

إذا أطلق أهل السنة والجماعة فالمراد بهم الأشاعرة والماتردية

Ketika diucapkan secara mutlak istilah Ahlussunnah wal Jama'ah, maka yang dikehendaki mereka ialah kelompok penganut paham Al-'asy'ari dan Al-Maturidi.

Perkembangan ASWAJA di Indonesia.
Menilik perjalanan ASWAJA sebagai sebuah pola berfikir dan bertindak adalah tidak lepas dari sejarah masuknya Islam ke Indonesia, dengan corak ke-sunni-annya (Ahlussunah Wal Jama’ah). Di mana ulama sunni, baik dari cina, India, maupun timur tengah sambil berdagang mampu menyebarkan Islam ala Sunni, dengan prinsip moderat-nya, sehingga Islam bisa diterima masyarkat pribumi dengan elegan tanpa paksaan dan kekerasan. Islam mampu berdialektika dengan budaya lokal yang sudah berkembang, Hindu, Budha, Animisme, Dinamisme, dan adat Istiadat masyarakat Indonesia lainnya. Begitu pula yang dilakukan oleh para Wali Songo, mereka mampu meng-islam-kan Jawa dengan wajah moderatnya. Artinya sebenarnya model Islam yang seperti itulah, (sunni, moderat, mengedepankan maslahah, menghilangkan madlarat) yang sejak awal berkembang dan bisa diterima oleh masyarkat Indonesia. Sehingga nilai Islam sebagai Agama Universal (rahmatan lil ‘alamin) menjadi kelihatan semakin nyata. Model Islam sunni/Islam ASWAJA inilah yang kemudian mendorong lahirnya ornganisasi kemasyarakatan yang ber-visi sosil-keagamaan, yakni Nahdlatul Ulama’ (NU), yang sampai sekarang memegang teguh identitas tersebut sebagai senuah Nilai, idiologi, dan doktrin kedisiplinan kaum ASWAJA di Indonesia. dan PMII adalah bagi dari dinamika perkembangan ke-NU-an di kalangan pemuda, terutama Mahasiswa (simak sejarah lahirnya PMII).Pada perkembangan berikutnya lahirlah doktrin ASWAJA an-Nahdliyah yang dimotori oleh (alm.) K.H. Hasyim Asy’ari (Ra’is Akbar NU pertama). Dengan secara tekstual menjadikan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai landasan utamanya. Serta fiqih/usul fiqih (Ijama’ dan Qiyas, serta maslahatul mursalah) sebagai landasan kontekstualnya, sehingga dari kedua landasan tersebut, lahir dialektika antara teks dan konteks dalam mengambil keputusan, tindakan, pemikiran, dll. Maka tidak ada lain pola fikir yang dikedepankan adalah menolak bahaya (madlarat), mendatangkan kebaikan (maslahah). Dengan mengedepankan prinsip umum “al-muhafadzotu alaa qodimi al-sholikh, wal akhdzu bi al-jadiidil aslakh”, Yakni menjaga tradisi lama yang baik, dan mengembangkan (kreatif) sesuatu baru yang lebih baik”.

Aswaja Sebagai Manhajul Fikr Wal Harokah
Memahami kerangka berfikir Ahlussunnah wal Jama'ah yang dinukil dari perjalanan para Ulama Ahlussunnah wal Jama'ah
Kurang lebih sejak 1995/1997, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia meletakkan aswaja sebagai manhaj al fikr. Tahun 1997 diterbitkan sebuah buku saku tulisan sahabat Khotibul Umam Wiranu berjudul Membaca ulang Aswaja (PB PMII 1997). Konsep dasar yang dibawa dalam aswaja sebagai manhaj al fikr tidak dapat dilepas dari gagasan KH. Said Aqil Siraj yang mengundang kontroversi, mengenai perlunya aswaja ditafsir ulang dengan memberikan kebebasan lebih bagi para intelektual dan ulama’ untuk merujuk langsung kepada ulama’ dan pemikir utama yang tesebut dalam pengertian aswaja.
PMII memandang bahwa aswaja adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleran. Aswaja bukan sebuah madzhab melainkan sebuah metode dan prinsip berfikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial kemasyarakatan, inilah makna aswaja sebagai manhaj al fikr.
Dalam upaya memahami, menghayati, dan mengamalkan Islam, PMII menjadikan ahlussunnah wal jama’ah sebagai Manhaj al-fikr sekaligus Manhaj al-taghayyur al-ijtima’i (perubahan sosial) untuk mendekonstruksikan sekaligus merekonstruksi bentuk-bentuk pemahaman dan aktualisasi ajaran-ajaran agama yang toleran, humanis, anti-kekerasan, dan kritis-transformatif (dalam NDP dan PKT PMII).Bagi PMII, Aswaja merupakan basis dasar nilai organisasi. Hal ini berarti kehidupan dan gerakan PMII senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai tersebut sehingga secara langsung membentuk identitas komunitas. Lebih dari itu, Aswaja merupakan inspirasi gerakan dan sekaligus alat bergerak yang membimbing para aktivisnya dalam memperjuangkan cita-cita kebangsaan dan kemanusiaan. Ini sudah dibuktikan misalnya komitmen gerakan yang tidak melenceng dari cita-cita kebangsaan itu, sementara di sisi lain tetap berkomitmen dengan cita-cita Islam yang humanis, pluralis, demokratis, egaliter, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Di atas landasan ini pula organisasi PMII bergerak membangun jati diri komunitasnya dan arah gerakannya. Berikut ini beberapa nilai-nilai yang terkandung dan menjadi dasar disetiap langkah gerakan Aswaja PMII:
Kontekstualisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Maqosidu Al-Syar`iy :
- Hifzunnafs Menjaga hak hidup (hak azazi manusia)
- Hifdzuddin pluralisme (kebebasan berkeyakinan)
- Hifdzul `aqli (kebebasan berfikir)
- Hifdzulmaal (kebebasan mencari penghidupan)
- Hifdzul nasab (kearifan local)
Karakteristik Ulama Ahlussunnah Waljama`ah dalam berfikir dan bertindak:
Tasamuh (toleran), Tawazun (menimbang-nimbang), Ta’adul (berkeadilan untuk semua), `Adamu ijabi birra`yi. (tidak merasa paling benar), `Adamuttasyau` (tidak terpecah belah), `Adamulkhuruj. (tidak keluar dari golongan), Alwasatu.(selalu berada ditengah-tengah), Luzumuljamaah. (selalu berjamaah), `Adamuitbailhawa (tidak mengikuti hawa nafsu) Puncak dari semuanya adalah Ta’awun (saling tolong menolong).

Memahami dan mengimplementasikan metode berfikir Ahlussunnah wal Jama'ah dalam berdakwah dan menyikapi persoalan Geo-Ekosospol
Aswaja Perspektif Sosial Ekonomi
Menyangkut bagaimana Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah dikerangkakan sebagai alat baca, perlu kiranya kita mulai pembacaan dan identifikasi persoalan yang dilanjutkan dengan perumusan kerangka teoritis dengan dilengkapi kerangka tawaran langkah-langkah yang akan kita ambil baik strategis maupun taktis.
Pertama, perlunya pembacaan yang cukup cermat atas realitas sosial ekonomi Indonesia. Ini diperlukan terutama untuk mengurai lapis-lapis persoalan yang ada dan melingkupi kehidupan sosial-ekonomi kita. Di antara beberapa persoalan yang harus kita dekati dalam konteks ini adalah;Fenomena kapitalisme global yang termanifestasikan melalui keberadaan WTO, world bank dan juga IMF, serta institusi-institusi pendukungnya.
Semakin menguatnya institusi-institusi ekonomi kepanjangan tangan kekuatan global tersebut di dalam negeri. Kekuatan-kekuatan tersebut memanifest melalui kekuatan bisnis modal dalam negeri yang berkolaborasi dengan kekutaan ekonomi global, ataupun melalui TNC atau MNC.
Liberalisasi barang dan jasa yang sangat berdampak pada regulasi barang dan jasa ekspor -impor.Fenomena pertama berjalan dengan kebutuhan pasar dalam negeri yang sedang mengalami kelesuan investasi dan kemudian mendorong pemerintah untuk mengajukan proposal kredit kepada IMF dan WB. Pengajuan kredit tersebut membawa konsekuensi yang cukup signifikan karena Indonesia semakin terintegrasi dengan ekonomi global. Hal ini secara praktis menjadikan Indonesia harus tunduk pada berbagai klausul dan aturan yang digariskan baik oleh WB maupun IMF sebagai persyaratan pencairan kredit. Dan aturan-aturan itulah yang kemudian kita kenal dengan structural adjustment program (SAP), yang antara lain berwujud pada;
Pengurangan belanja untuk pembiayaan dalam negeri yang akan berakibat pada pemotongan subsidi masyarakat. Dinaikkannya pajak untuk menutupi kekurangan pembiayaan akibat diketatkan APBN. Peningkatan suku bunga perbankan untuk menekan laju inflasi. Liberalisasi pasar yang berakibat pada terjadinya konsentrasi penguasaan modal pada segelintir orang dan liberalisasi perdagangan yang mengakibatakan munculnya penguasaan sektor industri oleh kelompok yang terbatas. Privatisasi BUMN yang berakibat pada penguasaan asst-aset BUMN oleh para pemilik asing.Restrukturisasi kelayakan usaha yang mengakibatkan munculnya standar usaha yang akan mempersulit para pelaku usaha menengah dan kecil. Karakter umum liberalisasi yang lebih memberikan kemudahan bagi arus masuk barang dan jasa (termasuk invesasi asing) dari luar negeri pada gilirannya akan mengakibatkan lemahnya produksi domestic karena harus bersaing dengan produk barang dan jasa luar negeri.
Sementara di level kebijakan pemerintah semakin tidak diberi kewenangan untuk mempengaruhi regulasi ekonomi yang telah diambil alih sepenuhnya oleh pasar. Sebuah ciri dasar dari formasi sosial neo-liberal yang menempatkan pasar sebagai aktor utama. Sehingga pengelolaan ekonomi selanjutnya tunduk pada mekanisme pasar yang float dan fluktuatif.Implikasi yang muncul dari pelaksanaan SAP ini pada sektor ekonomi basis (petani, peternak, buruh, dan lain sebagainya) adalah terjadinya pemiskinan sebagai akibat kesulitan-kesulitan stuktural yang mereka hadapi akibatnya menguntungkan investor asing. Terlebih ketika sektor ekonomi memperkenalkan istilah foreign direct investment (FDI) yang membawa arus deras investor asing masuk ke Indonesia secara langsung. Derasnya arus investasi yang difasilitasi oleh berbagai kebijakan tersebut pada gilirannya akan melemahkan para pelaku usaha kecil dan menengah.
Dari akumulasi berbagai persoalan tersebut, ada beberapa garis besar catatan kita atas realitas sosial-ekonomi; Tidak adanya keberpihakan Negara kepada rakyat. Ini bisa kita tengarai dengan keberpihakan yang begitu besar terhadap kekeutan-kekuatan modal internasional yang pada satu segi berimbas pada marjinalisasi besar-besaran terhadap kepentingan umat. Terhadap persoalan tersebut kita perlu mengerangkan sebuah model pengukuran pemihakan kebijakan. Dalam khazanah klasik kita mengenal satu kaidah yang menyatakan bahwa kebijakan seorang imam harus senantiasa mengarah kepada tercapainya kemaslahatan umat (Tasarruf al-Imam ‘ala al-Raiyati manuntun bi al-Maslahah). Tidak terwujudnya keadilan ekonomi secara luas.Arus investasi yang mendorong laju industrialisasi pada satu segi memang positif dalam hal mampu menyerap tenaga kerja dalam negeri.
Namun, pada segi yang lain menempatkan pekrja pada sebagi pihak yang sangat dirugikan. Dalam point ini kita menemukan tidak adanya keseimbngan distribusi hasil antara pihak investor dengan tenaga kerja. Investor selalu berada dalam posisi yang diuntungkan, sementara pekerja selalu dalam posisi yang dirugiakn. Sebuah kondisi yang akan mendorong terjadinya konglomerasi secara besar-besaran. Sehingga diperlukan pemikiran untuk menawarkan jalan penyelesaian melalui apa yang kita kenal dengan profit sharing. Yang dalam khazanah klasik kita kenal dengan mudharabah ataupun mukhabarah. Sehingga secara opertif pemodal dan pekerja terikat satu hubungan yang saling menguntungkan dan selanjutnya berakibat pada produktifitaas kerja.
Pemberian reward kepada pekerja tidak bisa menjawab kebutuhan yang ditanggung oleh pekerja. Standarisasi UMR sangat mungkin dimanipulasi oleh perusahaan dan segi tertentu mengkebiri hak-hak pekerja.Ini terjadi karena hanya didasarkan pada nilai nominal dan bukan kontribusi dalam proses produksi. Dalam persoalan ini kita ingin menawarkan modal manajemen upah yang didasarkan pada prosentasi kontribusi yang diberikan oleh pekerja kepada perusahaan ataupun proses produksi secara umum. Standarisasi yang kita sebut dengan UPH (upah prosentasi hasil) pada seluruh sektor ekonomi. Salah satu pertimbangan usulan ini adalah kaidah atau sebuah ayat bahwa harus ada distribusi kekayaan dalam tubuh umat itu secara adil dan merata untuk mencegah adanya konglomerasi ekonomi.Tidak adanya perlindungan hukum terhadap pekerja. Hal ini bisa kita lihat dari maraknya kasus PHK sepihak yang dilakukan oleh perusahaan. Ataupun contoh lain yang mengindikasikan satu kecenderungan bahwa kebijakan-kebijakan Negara lebih banyak diorientasikan semata untuk menarik investasi sebesar-besarnya tanpa pernah memikirkan implikasi yang akan muncul dilapangan. Termasuk potensi dirugikannya masyarakat baik secara ekologis (lingkungan dalam kaitannya dengan limbah industri), ekonomis (tidak berimbangnya penghasilan dengan daya beli), ataupun secara geografis (dalam hal semakin berkurangnya lahan pertanian ataupun perkebunan). Hampir tidak ada klausul level ini kita menuntut pemberlakuan undang-undang pasal 28b UUD 1945 serta perlakuan perlindungan hak pekerja yang dicetuskan kepada konferensi ILO. Perlunya masyaraakat dilibatkan dalam pembicaraan mengenai hal-hal penting berkaitan dengan pembuatan rencana kebijakn investasi dan kebijakan-kebijakan lain yang berhubungan secara langsung dengan hajat hidup orang banyak.
Ini diperlukan untuk mengantisipasi potensi resistan yang ada dalam masyarakat termasuk scenario plan dari setiap kebijakan. Berkaitan dengan ini smapai di level kabupaten/kotamadya bahkan tingkat desa masih terdapat ketidakadilan informasi kepada masyarakat. Sehingga masyarakat hampir-hampir tidak mengetahui apa yang telah, sedang dan akan dilakukan pemerintah di wilayah mereka. Kondisi demikian pada banyak level akan merugikan masyarakat yang seharusnya mengetahui informasi-informasi tersebut secara merata.Hal lain yang juga menyangkut persoalan ekonomi adalah perlunya elaborasi atas rujukan-rujukan fiqhiyah (termasuk ushul fiqh) bagi kerangka-kerangka operasional Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah sebagai manhaj al-fikr. Kebutuhan akan elaborasi ini dirasa sangat mendadak, terutama mengingat adanya kebingungan di beberapa tempat menyangkut ideologi dasar PMII dan kerangka paradigmanya terlebih jika dikaitkan dengan kemapuan Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah untuk menyediakan kerangka operatif yang akan memandu kader-kader PMII dilapangan masing-masing.
Pembicaraan mengenai berbagai persoalan tersebut mengantar kita untuk menawarkan langkah praktis berupa kerangka pengembangan ekonomi yang kemudian kita sebut sebagai konsep ekonomi bedikari. Konsep ini secara umum bisa kita definisikan sebagai konepsi pengelolaan ekonomi yang dibangun di atas kemampuan kita sebagai sebuah Negara untuk mendukung tawaran tersebut, lima langkah stategis kita usulkan;
Adanya penyadaran terhadap masyarakat tentang struktur penindasan yang terjadi,
Penghentian hutang luar negeri,
Adanya internalisasi ekonomi Negara,
Pemberlakuan ekonomi political dumping,
Maksimalisasi pemanfaatan sumber daya alam dengan pemanfaatan tekhnologi berbasis masyarakat lokal (society-based technology).
Aswaja Perspektif Sosial Politik, Hukum dan HAM
Akar permasalahan sosial, politik, hukum dan HAM terletak pada masalah kebijakan (policy). Satu kebijakan seyogyanya berdiri seimbang di tengah relasi “saling sadar” antara pemerintah, masyarakat dan pasar. Tidak mungkin membayangkan satu kebijakan hanya menekan aspek kepentingan pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Dalam satu kebijakan harus senantiasa melihat dinamika yang bergerak di orbit pasar. Dalam kasus yang lain tidak bias jika kemudian pemerintah hanya mempertimbangkan selera pasar tanpa melibatkan masyarakat didalamnya.
Persoalan muncul ketika: 1). kebijakan dalam tahap perencanaan, penetapan, dan pelaksanaannya seringkali monopoli oleh pemerintah. Dan selama ini kita melihat sedikit sekali preseden yang menunjukan keseriusan pemerintah untuk melibatkan masyarakat.2). kecendrungan pemerintah untuk selalu tunduk kepada kepentingan pasar, sehingga pada beberapa segi seringkali mengabaikan kepentingan masyarakat. 2). kondisi tersebut jika dibiarkan akan menggiring masyarakat pada posisi yang selalu dikorbankan atas nama kepentingan pemerintah dan selera pasar. Dan akan menciptakan kondisi yang memfasilitasi tumbuhnya dominasi dan bahkan otoritarianisme baru.
Kemudian kaitannya dengan Ahlussunnah wal Jama’ah yang juga menjadi nilai dasar pergerakan (NDP) PMII, dimana substansinya adalah jalan tengah, maka sudah sepatutnya bahwa PMII memposisikan diri di tengah untuk mencari titik temu sebagai solusi. Dengan sikap seperti itu, PMII mengikuti nilai Ahlussunnah wal Jama’ah. Nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah seperti tawazun, akan dapat melahirkan nilai Ahlussunnah wal Jama’ah yang ta’adul. Dalam hal ini, yang menjadi titik tekan adalah dengan strategi dapat meruntuhkan kekuasaan dominan dan otoriter yang pada akhirnya bermuara menjadi gerakan revolusiner.
Sekali lagi, cara revolusioner merupakan langkah akhir . ketika ada alternatif lain win win solution atau ishlah bisa ditawarkan, maka cara revolusioner meski dihindarkan. Saat ini kondisi sosial politik Indonesia mengalami degradasi luar biasa. Ada tiga variabel yang dapat membantu mencari akar persoalan.
Pertama, Negara dan pemerintahan. Dalam hal ini belum mampu menjawab tuntutan masyarakat kelas bawah. Dengan adanya kebijakan-kebijakan yang sebtulnya tidak berpihak pada rakyat, seperti adanya kenaikan harga-harga, merupakan salah satu pemicu munculnya ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai penyelenggara Negara.
Kedua, militer. Pada dasarnya adanya militer adalah karena untuk mengamankan Negara dari ancaman, bukan malah mengancam. Selama 32 tahun masyarakat Indonesia mempunyai pengalaman pahit dengan perlakuan-perlakuan militer. Meski, dalam hal tersebut harus ada pemilihan, secara institusional, institusi dan secara personal. Keinginan menjadikan militer professional merupakan cerminan adanya keinginan militer untuk berubah lebih baik. Namun, penegasan dan upaya ke arah professionalitas militer masih belum cukup signifikan dan menampakkan hasil. Peran militer terutama pada wilayah sosial politik menjadi cataan tersendiri yang harus dikontrol. Bukan berarti mengeliminir hak-hak militer sebagai salah satu komponen Negara yang juga berhak mengapresiasikan kehendaknya. Tetapi karena menyadari betul, militer sangat dibutuhkan pada wilayah dan pertahanan Negara, maka tidak seharusnya menarik-narik militer ke medan politik yang jelas-jelas bukanlah arena militer.
Ketiga, kalangan sipil. Ironisnya, ketika ada keinginan membangun tatanan civil society, yang arahnya ingin membangun supermasi sipil, namun kenyataannya kalangan sipil terutama politisi sipil acapkali mengusung urusan Negara (pemerintahan) serta militer ke wilayah politik yang lebih luas. Sehingga yang terjadi adalah ketidakjelasan peran dan fungsi masing-masing.
Fungsi dan peran (pemerintahan) adalah sebagai penyelenggara bukanlah sebagai penguasa tunggal. Oleh karena itu Negara selalu dikontrol. Namun contoh yang semestinya berasal dari masyarakat ataupun kalangan poitisi yang mewakili di parleman kecendrungannya seperti dijelaskan sebelumnya, menyeret-nyeret dan seringkali mencampuradukkan urusan pemerintah dan militer ke dalam wilayaah politik. Oleh karena itu dari ketiga variabel tersebut pada kondisi kekinian yang ada, perlu penegasan dan penjelasan terhadap peran dan fungsi serta posisinya masing-masing. Terutama bagi kalangan sipil yang tereduksi menjadi kalangan politisi untuk tidak membawa kepentingan-kepentingan politiknya memasuki arena lain. Jika itu tetap berlangsung (ketidakjelasan peran dan fungsi Negara, militer dan parlemen atau parpol bahkan lembaga peradilan) maka niscaya ketidakpercayaan rakyat semakin mengkristal terhadap semua institusi tersebut.
Aswaja Perspektif Sosial Budaya
Persoalan social-budaya di Indonesia dapat dilihat dengan menggunakan; Pertama, analisa terhadap kondisi social budaya masyarakat, baik pada tingkatan lokal atau pada tingkat global. Kedua, analisa nilai-nilai budaya yang kemudian didalamnya terdapat nilai-nilai ke-Ahlussunnah wal Jama’ah-an sebagai nilai yang terpatri untuk melakukan perubahan ketika kondisi sosial budaya menjadi dasar pijakan. Dari itu semua, pembentukan karakter budaya menjadi tujuan akhirnya.
Ahlussunnah wal Jama’ah dalam konteks sosial budaya dijadikan nilai-nilai yang kemudian menjadi alat untuk melakukan perubahan sosial budaya. Ekplorasi terhadap permasalahan lokal maupun global merupakan cara untuk mengetahui akar persoalan sosial budaya yang terjadi. Bahwa pada kenyataannya globalisasi ternyata mengikis budaya lokal didalam seluruh aspek kehidupan. Globalisasi tanpa kita sadari telah merusak begitu dalam sehingga mengaburkan tata sosial budaya Indonesia. Ironsnya, masyarkat menikmati produk-produk globalisasi sementara produk lokal menjadi teralienasi.
Berangkat dari kondisi tersebut, perlu adanya strategi budaya untuk melakukan perlawanaan ketika hegemoni kapitalisme global semakn “menggila”. Salah satu straegi itu menjadikan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai dasar strategi gerakan. Strategi yang dimaksud bisa dalam bentuk penguatan budaya-budaya lokal. Dalam konteks sosial budaya, posisi Negara dengan masyarakat bukanlah vis a vis tetapi sebagaimana Negara, pasar dan globalisasi secara umum dapat sejajar. Terkait dengan itu, PMII harus dapat menjembatani keinginan-keinginan masyarakat terhadap Negara agar kebijakan-kebijakan Negara tidak lagi merugikan masyarakat dan tidak lagi menguntungkan kapitalis global. PMII harus secara tegas mengambil posisi ini untuk membantu mengantisipasi dampak ekonomi pasar dan globalisasi terhadap masyarakat. Terutama untuk penerjemahan kebijakan Negara, kebijakan ekonomi pasar kemudian globalisasi secara umum yang berdampak pada pihak local yang sebetulnya menjadi sasaran distribusi barang, juga mempengaruhi budaya. Disinilah peran PMII dengan seperangkat nilai-nilai idealnya seperti tawazun, tasamuh dan ta’adul menjadi dasar guna menjembatani kesenjangan antara wilayah internal masyarakat Indonesia.
Aswaja perspektif teknologi dan media
Akhir-akhir ini muncul persoalan baru yang ternyata juga butuh perhatian khusus, yaitu teknologi dan media. Dalam hal ini PMII dengan seperangkat nilai yang ada hendaknya mampu untuk mengambil peran terutama dalam menghadapi gerusan arus teknologi dan media sebagai dampak globalisasi. Sebagai contoh salah satu gerakan yang sudah dibuktikan oleh kader terbaik dari PMII Cabang Malang Anjas Pramono (Ketua PMII Komisariat Universitas Brawijaya) yang telah menciptakan 5 aplikasi untuk kaum disabilitas dan mendapatkan penghargaan Internasional.
Tentu, bukan hanya itu yang harus kita lakukan. Ditengah golongan ekstrimis gerakan Islam yang memaksimalkan media sebagai ruang dakwah hendaknya PMII mempunyai Da'i Cyber sebagai wadah perjuangan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah. Apalagi di kampus-kampus umum sebagai sasaran organisasi sayap kanan atau wahabi, salafi dan ikhwanul muslimin yang berkamuflase dengan balutan fashion Islami. Kita harus mulai merubah tampilan dan gaya ber-PMII terutama dalam hal pakaian. Karena, mayoritas mahasiswa umum akan lebih simpati dengan cara berpakaian yang rapi, bersih dan wangi. Dari situlah mereka perlahan masuk dan menyebarkan doktrin paham keagamaan mereka yang tentu mengancam eksistensi dan keutuhan Pancasila dan NKRI.
Terlebih hari ini anak-anak, pemuda dan Mahasiswa mulai digempur oleh perkembangan teknologi agar bermental konsumtif dengan berbagai glamour teknologi dan suguhan game, menjadi tantangan yang tidak bisa disepelekan. Pasalnya, bagaimanapun akan berdampak pada nalar kritis dan kepedulian terhadap persoalan bangsa.
Berdasarkan hal itu maka pilihan agregasi PMII harus senantiasa diorientasikan untuk menggerakan formulasi rekayasa sosial yang diabdikan sebesar-besarnya bagi pemberdayaan masyarakat dihadapan Negara maupun pasar. Sehingga dapat tercipta perimbangan kekuatan yang akan memungkinkan terbentuknya satu tatanan masyarakat yang relasional-partisipatif antara Negara, pasar, PMII dan masyarakat, dimana PMII dengan masyarakat merupakan kesatuan antara system dengan subsisitem yang mencoba menjembatani masyarakat, Negara dan pasar. PMII dengan demikian berdiri dalam gerak transformasi harapan dan kebuthan masyarakat dihadapan Negara dan pasar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PMII di Tengah Gelombang Zaman

Oleh: Solikhan, S.Sos Pendahuluan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu organisasi kemahasiswaan berbasis nilai keislaman dan kebangsaan yang telah eksis sejak tahun 1960. Di tengah dinamika zaman yang terus bergulir dengan cepat, mulai dari era revolusi digital, pergeseran nilai sosial, hingga tantangan kebangsaan dan keagamaan, PMII dituntut untuk mampu memosisikan diri secara strategis. Organisasi ini tidak bisa berjalan dengan model lama di era baru. Maka, esai ini akan mengulas posisi, peran, evaluasi, tantangan, serta langkah yang harus ditempuh PMII agar tetap relevan dan progresif di tengah gelombang zaman. 1. Posisioning PMII PMII menempati posisi strategis sebagai jembatan antara idealisme mahasiswa, nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jamaah, dan semangat kebangsaan. Menurut Tilaar (2002), mahasiswa memiliki peran sebagai moral force dan agent of social change, yang dalam konteks PMII harus dibingkai dengan nilai keislaman yang rahmatan lil ‘alamin d...

GP ANSOR Makalah PKL Ansor di Purworejo 2019

KATA PENGANTAR Assalamualaikum… Wr. Wb Allahhu akbar, Maha Besar Allah yang telah banyak memberikan kemudahan dan ilmu kepada penulis , dan tiada pernah berhenti melimpahkan kasih sayang, rezeki, nikmat, rahmat dan karunia yang sulit dikira tapi dapat dirasa, sepatutnya penulis dan kita semua mensyukurinya dengan mengisi kehidupan ini dengan karya yang bermanfaat bagi seisi jagat raya ini, khususnya kepada seluruh peserta dan panitia pelaksana PKL yang diselenggarakan oleh PC GP Ansor Kabupaten Purworejo pada tanggal 30 Agustus s/d 1 September 2019. Alhamdulillah pada kesempatan ini  penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar. Adapun didalam makalah ini terdapat pembahasan-pembahasan tentang strategi pengembangan kaderisasi pada Gerakan Pemuda Ansor. Saya menyadari bahwa Makalah ini masih ada kekurangan namun mudah-mudahan dapat memberikan manfaat bagi pembaca untuk mengetahui gambaran singkat tentang Karakteristik pengkaderan pada Gerakan Pemuda Ansor. ...