Kenapa Harus Kenal Mereka?
Bayangin kamu naik kapal besar menuju keselamatan. Tapi kalau kamu gak tahu siapa nakhodanya, bisa-bisa nyasar ke pulau ideologi ngawur. Nah, dua imam inilah nakhoda utama aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah: Imam Abū al-Ḥasan al-Asy‘arī dan Imam Abū Manṣūr al-Māturīdī.
> KH. Ali Mustafa Yaqub:
"Kalau bukan karena jasa Imam Asy‘arī dan Māturīdī, mungkin sekarang umat Islam sudah tenggelam dalam lautan filsafat atau khurafat."
---
1. IMAM ABU AL-HASAN AL-ASY‘ARĪ (873–936 M)
Sekilas Sejarah Pemikirannya
Imam Asy‘arī berasal dari keluarga ilmuwan besar. Awalnya, ia adalah murid setia al-Jubbā’ī, tokoh besar Mu’tazilah. Selama 40 tahun, ia menganut paham rasionalis ekstrem.
Namun, setelah krisis intelektual dan kegelisahan spiritual, ia meninggalkan Mu’tazilah dan menyatakan tobat di Masjid Bashrah.
> قال الإمام الأشعري: "تبرأت من كل مذهب يخالف السنة والجماعة."
"Aku berlepas diri dari semua mazhab yang menyelisihi Sunnah dan Jama‘ah."
(al-Ibānah ‘an Uṣūl ad-Diyānah)
Sejak saat itu, ia menyusun ulang teologi Islam dengan pendekatan:
Setia pada wahyu (naqli)
Tidak anti akal (aqli)
Menolak tafsir ekstrem baik literal maupun filosofis
Beliau menulis lebih dari 100 karya, termasuk:
al-Luma‘ (kitab debat dengan Mu’tazilah)
al-Ibānah (manifesto teologinya)
---
2. IMAM ABU MANSUR AL-MĀTURĪDĪ (853–944 M)
Sekilas Sejarah Pemikirannya
Imam Māturīdī berasal dari Samarkand, Asia Tengah. Ia belajar langsung dari jalur ulama Ahlussunnah yang bersambung ke Imam Abū Ḥanīfah.
Tak seperti Asy‘arī yang pernah ikut aliran ekstrem, Māturīdī lahir dalam lingkungan Sunni tradisional dan sejak awal melawan kelompok-kelompok sesat seperti:
Mu’tazilah
Qadariyah
Syi’ah ekstrem
Karāmiya dan Mujassimah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk)
Ia menyusun teologi Islam yang sistematis dalam kitab:
Kitāb at-Tawḥīd
Ta’wīlāt Ahl as-Sunnah (tafsir kalamiy)
> قال الإمام الماتريدي: "الله لا يُدرَك بالعقول، ولكن يُعْرَف بها."
"Allah tidak dapat dilingkupi oleh akal, tapi bisa dikenali dengan akal."
---
Apa Bedanya Mereka?
Dari segi substansi, keduanya sama: Ahlussunnah sejati. Tapi pendekatannya sedikit berbeda:
> Imam Sa‘duddin at-Taftazani:
"Aqidah Ahlussunnah terbagi dua: Asy‘ariyah dan Maturidiyah. Keduanya adalah jalan yang lurus dan menyelamatkan."
---
Kutipan KH. Said Aqil Siraj
> KH. Said Aqil Siraj:
"Kalau ingin umat Islam kuat, harus kembali ke Asy‘ariyah dan Maturidiyah. Itulah akidah moderat, toleran, ilmiah, dan terbuka — jauh dari radikalisme."
Dalam banyak forum internasional, beliau menegaskan bahwa Asy‘ariyah dan Maturidiyah adalah identitas utama umat Islam Indonesia — bukan sekadar teori, tapi realitas sejarah yang mewujud dalam NU dan pesantren-pesantren.
> "Asy‘ariyah bukan hanya mazhab aqidah. Ia adalah benteng peradaban Islam dari radikalisme dan liberalisme yang sama-sama merusak."
(KH. Said Aqil dalam Muktamar Internasional Islam Moderat, 2016)
---
Penutup Bab
Dua imam besar ini bukan hanya tokoh klasik, tapi mata rantai keilmuan kita hari ini. Ajaran mereka masih hidup, mengalir di pesantren, buku-buku tauhid, khutbah, bahkan di hati orang tua kita yang ngajarin "Allah itu esa, tidak serupa dengan makhluk."
Mereka mengajarkan iman yang berfikir, dan akal yang beriman.
Komentar
Posting Komentar