Akal: Anugerah atau Musuh Iman?
Sebagian orang bilang, “Kalau sudah dalil, jangan pakai logika!”
Ada juga yang bilang, “Islam itu logis. Kalau nggak logis, tolak!”
Lho? Dua-duanya bisa berbahaya kalau dibawa ke ekstrem.
ASWAJA hadir bukan untuk menolak akal, tapi menempatkannya secara proporsional.
Imam al-Ghazālī:
"Akal adalah landasan pertama dalam agama. Dengan akal, kita bisa memahami wahyu dan membedakan yang benar dan batil."
(al-Munqidz min al-Ḍalāl)
Akal dan Wahyu: Bukan Lawan, Tapi Kawan
ASWAJA—khususnya mazhab Asy‘arīyah dan Māturīdīyah—mengajarkan bahwa akal dan wahyu saling melengkapi:
- Wahyu adalah sumber kebenaran tertinggi
- Akal adalah alat untuk memahaminya
Kalau keduanya bentrok? Maka tafsir manusialah yang harus ditinjau ulang, bukan ditolak mentah-mentah.
Imam Abu al-Hasan al-Asy‘arī menyatakan:
"Kita wajib mengikuti nash (wahyu), tapi juga menggunakan akal untuk memahaminya secara tepat."
Dalil Aqli dan Dalil Naqli
ASWAJA menetapkan dua sumber kebenaran:
- Dalil Naqli (wahyu): Al-Qur'an dan Sunnah
- Dalil Aqli (akal): argumentasi logis yang tidak bertentangan dengan nash
Contoh penerapannya:
- Keberadaan Allah dapat diketahui secara rasional lewat penciptaan alam.
- Kewajiban iman kepada Allah dan rasul juga dibuktikan dengan dalil logis, bukan hanya dogmatis.
KH. Hasyim Asy‘ari:
"Islam tidak melarang akal berjalan, tapi membimbing agar ia tidak tersesat dari petunjuk wahyu."
Akal Tidak Bebas Sebebas-bebasnya
ASWAJA juga mengingatkan:
Akal itu penting, tapi bukan segalanya. Akal tetap tunduk pada wahyu dalam hal-hal yang berada di luar jangkauan manusia, seperti:
- Hari kiamat
- Sifat-sifat Allah
- Surga dan neraka
- Takdir
KH. Ahmad Shiddiq (Rais 'Aam PBNU 1984-1991):
"Akal manusia adalah lentera, tapi wahyu adalah cahayanya. Tanpa cahaya, lentera hanya besi mati."
Contoh ASWAJA dalam Menyikapi Akal dan Wahyu
- Ketika memahami sifat-sifat Allah, Asy‘ariyah menggunakan pendekatan tafwīḍ dan ta’wīl, agar tidak terjebak pada pemahaman tekstual yang menyerupakan Allah dengan makhluk (tasybīh).
- Dalam masalah iman dan amal, ASWAJA menjelaskan dengan nalar: amal memperkuat iman, tapi iman tak hilang hanya karena dosa.
Gus Dur:
"Kalau agama itu cuma urusan hafalan dalil, robot juga bisa jadi ulama. Yang penting itu pemahaman dan akhlak."
ASWAJA dan Dunia Pendidikan
Tradisi ASWAJA sangat menghargai ilmu:
- Ulama-ulama besar seperti Imam Nawawī, al-Ghazālī, Fakhruddin ar-Rāzī, hingga KH. Sahal Mahfudz adalah contoh ahli pikir dan ahli zikir.
- Pesantren tidak hanya mengajarkan ngaji kitab, tapi juga logika (manṭiq), filsafat, dan balāghah sebagai alat berpikir kritis.
KH. Ali Maksum (Krapyak):
"Membaca kitab kuning tanpa logika, itu seperti nyanyi tanpa nada."
Penutup Bab
ASWAJA memadukan iman yang kokoh dan akal yang jernih. Bukan “asal yakin” tanpa mikir, dan bukan pula “asal logis” tanpa iman.
Di tengah zaman yang rawan disinformasi dan over-thinking, pendekatan ASWAJA justru menawarkan jalan tengah yang stabil, bijak, dan penuh hikmah.
"Beragama tanpa akal bisa sesat, berpikir tanpa iman bisa gelap. ASWAJA hadir untuk menyalakan cahaya di antara keduanya."
Komentar
Posting Komentar