Langsung ke konten utama

Monopoli Pangan dan Penyeragaman Selera: Krisis Identitas Makanan Pokok Indonesia

Indonesia sejak lama dikenal sebagai negeri dengan keragaman pangan yang luar biasa. Jauh sebelum negara ini mengenal konsep “beras sebagai makanan pokok nasional”, masyarakat Nusantara telah membangun sistem pangan yang adaptif terhadap alam, budaya, dan kearifan lokal. Masyarakat pegunungan hidup dari singkong, ubi, dan jagung; masyarakat pedesaan sawah menjadikan padi sebagai sumber karbohidrat utama; sementara masyarakat Papua bertahan dengan sagu yang telah menopang kehidupan mereka selama ribuan tahun. Namun, keberagaman itu kini kian tergerus oleh penyeragaman pangan yang sistematis, bahkan cenderung monopolistik.

Beras sebagai Standar Tunggal: Warisan Kebijakan yang Bermasalah

Penyeragaman pangan di Indonesia tidak terjadi secara alamiah, melainkan melalui kebijakan negara yang sejak lama menempatkan beras sebagai simbol kemakmuran dan stabilitas nasional. Sejak era Orde Baru, swasembada beras dijadikan proyek ideologis sekaligus politis. Negara tidak hanya mengatur produksi dan distribusi beras, tetapi juga secara halus membentuk persepsi publik bahwa “belum makan kalau belum makan nasi”.

Akibatnya, makanan pokok non-beras—seperti jagung, singkong, ubi, talas, dan sagu—diposisikan sebagai pangan kelas dua, pangan darurat, atau bahkan identik dengan kemiskinan. Logika ini menciptakan hierarki pangan yang diskriminatif dan mengabaikan fakta bahwa secara gizi dan ekologis, pangan lokal sering kali lebih sesuai dengan kondisi wilayah setempat.

Monopoli Selera dan Ketergantungan Struktural

Ketika beras dijadikan standar tunggal, maka sistem pangan nasional pun bergerak menuju pola monopoli. Produksi, distribusi, dan harga beras sangat bergantung pada segelintir aktor besar—mulai dari korporasi benih, pupuk, hingga pedagang besar dan importir. Petani kecil kehilangan kedaulatan benih, masyarakat kehilangan pilihan pangan, dan negara kehilangan fleksibilitas menghadapi krisis.

Lebih jauh, penyeragaman pangan menciptakan ketergantungan struktural: daerah yang secara ekologis tidak cocok untuk padi tetap dipaksa menanam padi, sementara pangan lokalnya ditinggalkan. Di Papua, misalnya, sagu yang tumbuh alami dan lestari justru tergeser oleh beras yang harus didatangkan dengan biaya logistik tinggi. Ironisnya, kebijakan ini tidak hanya tidak efisien, tetapi juga merusak sistem pangan tradisional yang terbukti tangguh.

Dampak Sosial, Budaya, dan Kesehatan

Penyeragaman makanan pokok bukan sekadar soal ekonomi, tetapi juga menyentuh dimensi budaya dan kesehatan masyarakat. Hilangnya pangan lokal berarti hilangnya pengetahuan tradisional: cara mengolah, menyimpan, hingga makna sosial yang melekat pada makanan. Makanan tidak lagi menjadi ekspresi identitas, melainkan sekadar komoditas pasar.

Dari sisi kesehatan, dominasi karbohidrat tunggal—terutama beras putih—tanpa diversifikasi pangan berkontribusi pada meningkatnya penyakit degeneratif seperti diabetes dan obesitas. Padahal, pangan lokal seperti ubi, jagung, dan sagu memiliki indeks glikemik yang lebih beragam dan sering kali lebih sesuai dengan pola metabolisme masyarakat setempat.

Krisis Ketahanan Pangan yang Diciptakan Sendiri

Paradoks terbesar dari penyeragaman pangan adalah klaim ketahanan pangan yang rapuh. Ketika beras gagal panen atau harga dunia melonjak, negara panik dan masyarakat terancam. Ketahanan pangan sejati seharusnya bertumpu pada keberagaman sumber pangan, bukan pada satu komoditas yang dimonopoli secara struktural.

Ketergantungan pada beras juga membuat Indonesia rentan terhadap tekanan global—baik melalui impor, fluktuasi harga, maupun intervensi pasar internasional. Dalam situasi ini, pangan lokal yang seharusnya menjadi bantalan krisis justru telah dilemahkan oleh kebijakan yang keliru.

Mengembalikan Kedaulatan Pangan Berbasis Keberagaman

Menghadapi situasi ini, diperlukan perubahan paradigma yang radikal: dari ketahanan pangan semu menuju kedaulatan pangan berbasis keberagaman lokal. Negara harus berhenti memaksakan standar tunggal makanan pokok dan mulai mengakui pluralitas pangan sebagai kekuatan nasional.

Revitalisasi pangan lokal bukan langkah mundur, melainkan strategi maju untuk menghadapi krisis iklim, krisis ekonomi, dan krisis kesehatan. Mengembalikan singkong ke meja makan masyarakat pegunungan, menguatkan jagung di wilayah kering, dan memuliakan sagu sebagai pangan utama Papua adalah bagian dari upaya dekolonisasi selera dan pembebasan sistem pangan Indonesia dari monopoli.

Sebab, bangsa yang menggantungkan hidupnya pada satu jenis pangan sesungguhnya sedang mempertaruhkan masa depannya sendiri.

Penulis: Solikhan, S.Sos

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ASWAJA SEBAGAI MANHAJUL FIKR WAL HAROKAH

(Disusun oleh : Solikhan) Disampaikan pada PKD PMII Komisariat Nusantara UMNU Kebumen Kamis, 8 Agustus 2019 di Bumi Perkemahan Widoro Pokok bahasan Latar belakang sosio-politik dan sosio-kultur kemunculan Ahlussunnah wal Jama'ah dan proses pelembagaan madzhab Ahlussunnah wal Jama'ah sebagai doktrin Sanad ke-Islaman dalam ajaran yang benar, yang dijalankan oleh Rosulullah SAW dan para sahabat, Tabiin, Tabiit-tabiin, Ulama, dst PMII sebagai organisasi pewaris Sanad Ajaran Islam yang benar, didirikan oleh ulama dan mendapatkan mandat untuk memperjuangkan Islam Aswaja di Kampus Ahlussunnah wal Jama'ah sebagai Manhajul Fikr (Metode berfikir) dan sebagai Manhajul Harokah (Metode bergerak) Memahami kerangka berfikir Ahlussunnah wal Jama'ah yang dinukil dari perjalanan para Ulama Ahlussunnah wal Jama'ah Memahami dan mengimplementasikan metode berfikir Ahlussunnah wal Jama'ah dalam berdakwah dan menyikapi persoalan Geo-Ekosospol عن عبد ال...

PMII di Tengah Gelombang Zaman

Oleh: Solikhan, S.Sos Pendahuluan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu organisasi kemahasiswaan berbasis nilai keislaman dan kebangsaan yang telah eksis sejak tahun 1960. Di tengah dinamika zaman yang terus bergulir dengan cepat, mulai dari era revolusi digital, pergeseran nilai sosial, hingga tantangan kebangsaan dan keagamaan, PMII dituntut untuk mampu memosisikan diri secara strategis. Organisasi ini tidak bisa berjalan dengan model lama di era baru. Maka, esai ini akan mengulas posisi, peran, evaluasi, tantangan, serta langkah yang harus ditempuh PMII agar tetap relevan dan progresif di tengah gelombang zaman. 1. Posisioning PMII PMII menempati posisi strategis sebagai jembatan antara idealisme mahasiswa, nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jamaah, dan semangat kebangsaan. Menurut Tilaar (2002), mahasiswa memiliki peran sebagai moral force dan agent of social change, yang dalam konteks PMII harus dibingkai dengan nilai keislaman yang rahmatan lil ‘alamin d...

GP ANSOR Makalah PKL Ansor di Purworejo 2019

KATA PENGANTAR Assalamualaikum… Wr. Wb Allahhu akbar, Maha Besar Allah yang telah banyak memberikan kemudahan dan ilmu kepada penulis , dan tiada pernah berhenti melimpahkan kasih sayang, rezeki, nikmat, rahmat dan karunia yang sulit dikira tapi dapat dirasa, sepatutnya penulis dan kita semua mensyukurinya dengan mengisi kehidupan ini dengan karya yang bermanfaat bagi seisi jagat raya ini, khususnya kepada seluruh peserta dan panitia pelaksana PKL yang diselenggarakan oleh PC GP Ansor Kabupaten Purworejo pada tanggal 30 Agustus s/d 1 September 2019. Alhamdulillah pada kesempatan ini  penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar. Adapun didalam makalah ini terdapat pembahasan-pembahasan tentang strategi pengembangan kaderisasi pada Gerakan Pemuda Ansor. Saya menyadari bahwa Makalah ini masih ada kekurangan namun mudah-mudahan dapat memberikan manfaat bagi pembaca untuk mengetahui gambaran singkat tentang Karakteristik pengkaderan pada Gerakan Pemuda Ansor. ...