Menyusuri Empat Abad Jejak Bangsa
Sejarah tidak pernah hadir sekadar sebagai tumpukan angka dan peristiwa. Ia adalah cermin yang memantulkan wajah bangsa, sekaligus guru yang mengajarkan arah. Setiap abad, Indonesia diuji dengan cobaan berbeda: dari hilangnya kedaulatan, perlawanan yang membara, hingga kesadaran yang menyala.
Penulis memilih menelaah tahun 1725, 1825, 1925, dan 2025 bukan tanpa alasan. Angka-angka ini bukan sekadar hitungan seratusan tahun, melainkan simpul sejarah yang menandai pergulatan bangsa:
-
1725, ketika kekuasaan kolonial menjerat Nusantara dalam monopoli dagang.
-
1825, saat rakyat bangkit lewat Perang Jawa, menolak penghinaan atas tanah dan martabat.
-
1925, kala kesadaran kebangsaan menemukan bentuk, menuju Sumpah Pemuda.
-
2025, abad kita, ketika bangsa berada di persimpangan baru: antara kedaulatan digital atau keterjajahan modern, antara kebangkitan moral atau keterpurukan spiritual.
Menelaah empat abad ini ibarat membuka kitab besar bernama Indonesia. Di setiap babnya, kita menemukan pelajaran: bahwa bangsa ini tidak pernah benar-benar menyerah, meski berkali-kali jatuh. Justru dari luka-luka sejarah itulah tumbuh kekuatan untuk bangkit kembali.
Prolog ini bukan sekadar pengantar. Ia adalah undangan—untuk membaca ulang jejak sejarah kita, agar tidak buta arah di persimpangan zaman.
1725: Hilangnya Kedaulatan
Tahun 1725, Nusantara berada dalam cengkeraman VOC. Raja-raja lokal dipermainkan politik pecah-belah, rakyat menderita karena pajak dan monopoli dagang. Inilah masa ketika bangsa kita mulai kehilangan kedaulatannya, bukan karena kalah perang besar, melainkan karena “dicicil” lewat politik ekonomi kolonial.
1825: Gelora Perlawanan
Seratus tahun kemudian, perlawanan besar meledak. Perang Jawa (1825–1830) dipimpin Pangeran Diponegoro bukan sekadar perang fisik, tapi juga perang harga diri. Rakyat bangkit karena tanah, budaya, dan keyakinan diinjak-injak. Meski kalah, api perlawanan itu menyalakan memori kolektif bangsa: kita bisa bangkit bersama.
1925: Kesadaran Kebangsaan
Abad ke-20 membawa angin baru. Tahun 1925, organisasi pergerakan tumbuh, pemberontakan PKI pecah, dan kaum muda mulai memikirkan Indonesia secara utuh. Inilah masa peralihan: dari melawan dengan senjata ke melawan dengan ide, organisasi, dan politik. Hanya tiga tahun kemudian, lahirlah Sumpah Pemuda (1928), tonggak persatuan bangsa.
2025: Persimpangan Sejarah
Kini, di tahun 2025, bangsa Indonesia berada di persimpangan sejarah baru. Kita tidak lagi dijajah secara fisik, tetapi menghadapi “penjajahan” bentuk lain:
-
Ekonomi digital yang rawan dikuasai asing.
-
Korupsi dan oligarki yang menggerogoti dari dalam.
-
Polarisasi sosial-politik akibat perbedaan pandangan yang mudah meledak di media sosial.
-
Krisis moral dan spiritual, ketika banyak orang kehilangan pegangan antara halal-haram, benar-salah.
Sejarah 1725, 1825, dan 1925 mengajarkan: setiap abad, bangsa ini diuji. Dan setiap kali, ada dua pilihan: tenggelam dalam krisis atau bangkit dengan kesadaran baru.
Apa yang Harus Dilakukan Bangsa Indonesia?
-
Menjaga Kedaulatan BaruDulu kedaulatan hilang karena monopoli rempah, kini kedaulatan bisa hilang lewat monopoli data, teknologi, dan utang luar negeri. Indonesia harus berdaulat dalam ekonomi digital, pangan, dan energi.
-
Membangkitkan Semangat PersatuanKalau 1825 Diponegoro menggerakkan rakyat dengan simbol agama dan budaya, kini persatuan harus dibangun di atas keadilan sosial, keterbukaan, dan penghormatan perbedaan.
-
Revolusi Moral dan Spiritual1925 menandai lahirnya kesadaran politik. 2025 seharusnya menandai lahirnya kesadaran moral. Bangsa ini butuh pemimpin dan rakyat yang tidak hanya cerdas, tapi juga berakhlak.
-
Menghubungkan Tradisi dan InovasiKita harus berani maju dengan teknologi, tapi tanpa tercerabut dari akar kearifan lokal dan spiritualitas. Seperti pesan Ibn Khaldun: bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menjaga tradisi, sambil kreatif menghadapi masa depan.
Sejarah mengajarkan: kita tidak pernah diam. Setiap abad kita diuji, dan setiap kali kita menemukan cara untuk bangkit. Kini giliran kita menjawab tantangan zaman—apakah akan jadi bangsa besar yang berdaulat, atau sekadar penonton di panggung dunia.
“Indonesia merdeka tidak berarti apa-apa kalau rakyatnya masih lapar, masih miskin, dan tidak mendapatkan pendidikan.” (Moh. Hatta)

Komentar
Posting Komentar