Langsung ke konten utama

Postingan

Monopoli Pangan dan Penyeragaman Selera: Krisis Identitas Makanan Pokok Indonesia

Indonesia sejak lama dikenal sebagai negeri dengan keragaman pangan yang luar biasa. Jauh sebelum negara ini mengenal konsep “beras sebagai makanan pokok nasional”, masyarakat Nusantara telah membangun sistem pangan yang adaptif terhadap alam, budaya, dan kearifan lokal. Masyarakat pegunungan hidup dari singkong, ubi, dan jagung; masyarakat pedesaan sawah menjadikan padi sebagai sumber karbohidrat utama; sementara masyarakat Papua bertahan dengan sagu yang telah menopang kehidupan mereka selama ribuan tahun. Namun, keberagaman itu kini kian tergerus oleh penyeragaman pangan yang sistematis, bahkan cenderung monopolistik. Beras sebagai Standar Tunggal: Warisan Kebijakan yang Bermasalah Penyeragaman pangan di Indonesia tidak terjadi secara alamiah, melainkan melalui kebijakan negara yang sejak lama menempatkan beras sebagai simbol kemakmuran dan stabilitas nasional. Sejak era Orde Baru, swasembada beras dijadikan proyek ideologis sekaligus politis. Negara tidak hanya mengatur produksi da...
Postingan terbaru

Mengenal Syeh Junaid Al-Baghdadi

Al-Junaid bin Muhammad bin al-Junaid Abu Qasim al-Qawariri al-Khazzaz al-Nahawandî al-Baghdadi al-Syafi'i, atau lebih dikenal dengan Al-Junaid al-Baghdadî, lahir di Nihawand, Persia, tetapi keluarganya bermukim di Baghdad, tempat ia belajar hukum Islam mazhab Imam Syafi'i, dan akhirnya menjadi qadi kepala di Baghdad. Dia mempelajari ilmu fiqih kepada Abu Tsur al-Kalbi yang merupakan murid langsung dari Imam Asy-Syafi'i. Nama lengkap beliau Abu'l-Qasim bin Muhammad al-Junayd al-Baghdadi. Beliau mendapat gelar (Islam) yaitu Sayyid at-Taifa. Beliau lahir Pada tahun 220 H sedangkan beliau wafat pada tanggal 28 Rajab tahun 298 H. Beliau gemar mempelajari Sufisme, Tasawuf, ishq, teologi, filosofi, logika, fikih. Al-Junaid mempelajari ilmu tasawuf dari pamannya sendiri, Syekh as-Sari as-Saqoti hingga pada akhirnya ketinggian ilmu Al-Junaid menjadi dirinya sebagai ulama yang memiliki banyak murid dan pengikut. Demikianlah, bahwa kecintaannya terhadap ilmu tasawuf sangatlah ting...

Program Nasional Tanpa Aparatur Berkualitas: Pembangunan yang Rentan Formalitas

Oleh: Solikhan, S.Sos Pemerintah kerap mengklaim keberhasilan program nasional melalui angka: besaran anggaran, persentase serapan, dan jumlah kegiatan yang “terlaksana”. Namun, publik jarang diajak menilai kualitas dampak kebijakan tersebut. Dalam praktiknya, banyak program berhenti pada pemenuhan indikator administratif laporan selesai, anggaran habis tanpa perubahan berarti bagi warga. Masalah ini bukan hal baru, tetapi terus berulang karena satu sebab mendasar: negara masih mengabaikan kualitas aparatur pelaksana kebijakan. Berbagai kebijakan strategis Dana Desa, pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, hingga digitalisasi pelayanan publik dijalankan oleh aparatur di tingkat paling bawah. Ironisnya, justru pada level inilah standar profesional paling longgar diterapkan. Negara rajin menuntut akuntabilitas, tetapi abai memastikan kompetensi. --- Negara Sibuk Membuat Program, Lalai Membangun Pelaksana Dalam logika kebijakan publik, program tidak dijalankan oleh regulasi, melainkan o...

Telaah Sejarah Dinamika Bangsa Indonesia: 1725, 1825, 1925, dan 2025

  Menyusuri Empat Abad Jejak Bangsa Sejarah tidak pernah hadir sekadar sebagai tumpukan angka dan peristiwa. Ia adalah cermin yang memantulkan wajah bangsa, sekaligus guru yang mengajarkan arah. Setiap abad, Indonesia diuji dengan cobaan berbeda: dari hilangnya kedaulatan, perlawanan yang membara, hingga kesadaran yang menyala. Penulis memilih menelaah tahun 1725, 1825, 1925, dan 2025 bukan tanpa alasan. Angka-angka ini bukan sekadar hitungan seratusan tahun, melainkan simpul sejarah yang menandai pergulatan bangsa: 1725 , ketika kekuasaan kolonial menjerat Nusantara dalam monopoli dagang. 1825 , saat rakyat bangkit lewat Perang Jawa, menolak penghinaan atas tanah dan martabat. 1925 , kala kesadaran kebangsaan menemukan bentuk, menuju Sumpah Pemuda. 2025 , abad kita, ketika bangsa berada di persimpangan baru: antara kedaulatan digital atau keterjajahan modern, antara kebangkitan moral atau keterpurukan spiritual. Menelaah empat abad ini ibarat membuka kitab besar ...

Hukum Perampasan Aset Koruptor dan Korelasi Barang Haram Perspektif Tasawuf

  Penulis: Solikhan, S.Sos (Kader GP Ansor Kebumen)   Abstrak Artikel ini membahas korelasi antara hukum perampasan aset (pemiskinan koruptor) dalam hukum positif Indonesia dengan konsep tasawuf terkait dampak konsumsi harta atau barang haram terhadap perilaku dan tindakan manusia. Perspektif tasawuf menekankan bahwa segala sesuatu yang masuk ke dalam tubuh akan memengaruhi hati, jiwa, dan spiritualitas. Uang dan aset hasil korupsi tergolong haram, dan apabila dikonsumsi, akan menimbulkan kegelapan hati (zulumat al-qalb), menumpulkan akal budi, dan mendorong perilaku destruktif. Dengan mengaitkan ayat-ayat Al-Qur’an, hadis Nabi, serta pemikiran tokoh-tokoh tasawuf seperti Al-Ghazali, Al-Qusyairi, dan Ibn ‘Atha’illah, artikel ini menegaskan urgensi penegakan hukum perampasan aset sebagai bentuk penyucian sosial (tazkiyat al-mujtama’) sekaligus sebagai pencegahan efek spiritual dan moral dari harta haram. Pendahuluan Fenomena korupsi di Indonesia telah merusak ta...

Banser Sang Penolong: Pasukan Elit yang Terlupakan

Bayangkan ini: sebuah bencana terjadi—banjir merendam rumah warga, jalanan lumpuh, warga kebingungan. Lalu muncul sekelompok orang berseragam cokelat, dengan semangat tinggi dan tangan terbuka lebar membantu mengevakuasi, membagikan logistik, mengevakuasi lansia, bahkan ikut menyalatkan korban yang wafat. Bukan TNI, bukan juga relawan NGO asing. Mereka adalah Banser. Namun ironisnya, meskipun aksi-aksi mereka sering viral di media sosial, di ranah formal keilmuan, Banser masih belum mendapatkan tempat yang layak. Seolah-olah, pasukan ini hanya eksis saat butuh, lalu dilupakan begitu saja setelah keadaan kembali tenang. Siapa Sebenarnya Banser? Banser, atau Barisan Ansor Serbaguna, adalah badan semi-militer dari Gerakan Pemuda Ansor, sebuah organisasi kepemudaan di bawah naungan Nahdlatul Ulama. Sejak berdirinya di tahun 1934-an, Banser telah bertransformasi dari sekadar pengawal ulama dan kegiatan keagamaan menjadi pasukan multitalenta: mulai dari pengamanan acara keagamaan, pengawal N...

Money Politik: Harga Diri yang Dijual Murah

Di balik pesta demokrasi yang meriah dan penuh janji manis, terselip satu praktik kotor yang nyaris menjadi tradisi: money politik. Dalam istilah yang lebih membumi, ini adalah “serangan fajar” – uang atau barang yang disebarkan oleh calon pemimpin kepada masyarakat agar memilihnya dalam pemilihan umum. Ironisnya, banyak masyarakat menerimanya dengan senyum, padahal sesungguhnya itu adalah momen menjual harga diri sekaligus menggadaikan masa depan. Pilkades 2027: Momentum atau Malapetaka? Tahun 2027 mendatang, Jawa Tengah akan menggelar Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak di berbagai kabupaten dan kota. Ini akan menjadi momentum demokrasi tingkat akar rumput yang sangat penting—karena kepala desa adalah tokoh kunci dalam pembangunan desa, pelayanan masyarakat, serta pengelolaan dana desa yang besar jumlahnya. Namun, ada kekhawatiran besar bahwa pesta demokrasi ini bisa berubah menjadi pesta money politik. Jika warga masih tergoda menerima uang Rp50.000 atau Rp100.000 untuk mencob...