Di balik pesta demokrasi yang meriah dan penuh janji manis, terselip satu praktik kotor yang nyaris menjadi tradisi: money politik. Dalam istilah yang lebih membumi, ini adalah “serangan fajar” – uang atau barang yang disebarkan oleh calon pemimpin kepada masyarakat agar memilihnya dalam pemilihan umum. Ironisnya, banyak masyarakat menerimanya dengan senyum, padahal sesungguhnya itu adalah momen menjual harga diri sekaligus menggadaikan masa depan.
Pilkades 2027: Momentum atau Malapetaka?
Tahun 2027 mendatang, Jawa Tengah akan menggelar Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak di berbagai kabupaten dan kota. Ini akan menjadi momentum demokrasi tingkat akar rumput yang sangat penting—karena kepala desa adalah tokoh kunci dalam pembangunan desa, pelayanan masyarakat, serta pengelolaan dana desa yang besar jumlahnya.
Namun, ada kekhawatiran besar bahwa pesta demokrasi ini bisa berubah menjadi pesta money politik. Jika warga masih tergoda menerima uang Rp50.000 atau Rp100.000 untuk mencoblos calon tertentu, maka Pilkades 2027 bisa menjadi malapetaka lima tahun ke depan. Jangan heran jika kemudian pembangunan desa mandek, dana desa bocor, pelayanan publik buruk, dan rakyat hanya bisa mengeluh di warung kopi.
Dampak Money Politik bagi Masyarakat
1. Masa Depan yang Pupus Harapan
Saat suara rakyat dibeli, maka yang terpilih bukan lagi yang punya kapabilitas dan integritas, tapi yang punya modal. Rakyat tidak lagi memilih berdasarkan visi dan rekam jejak, melainkan karena nasi bungkus, kaos, atau lembaran rupiah. Maka, tak heran bila lima tahun ke depan dipenuhi kekecewaan: janji tak ditepati, pemimpin abai, pembangunan lamban, dan rakyat kembali menanggung derita. Harapan akan perubahan hanya jadi ilusi yang dibarter dengan uang sebungkus rokok.
2. Kualitas Fasilitas dan Pelayanan Publik Menurun
Pemimpin yang naik dengan money politik merasa bahwa jabatan adalah investasi, bukan amanah. Maka yang diprioritaskan pertama kali adalah balik modal, bukan pelayanan. Akibatnya, fasilitas publik dibangun asal jadi, proyek dikuasai kroni, dan pelayanan pada masyarakat hanya basa-basi. Puskesmas tak layak, sekolah kekurangan sarana, jalan rusak dibiarkan—semua jadi pemandangan sehari-hari.
3. Keterbatasan Akses bagi Pemimpin Berkualitas
Money politik membuat orang-orang baik enggan maju. Mereka yang tak punya “modal serangan fajar” tapi memiliki kompetensi dan niat tulus membangun negeri tersingkirkan. Demokrasi berubah menjadi pasar gelap kekuasaan, bukan arena pertarungan gagasan.
Larangan Money Politik: Perspektif Hukum dan Agama
1. Hukum Negara
Di Indonesia, money politik termasuk dalam tindak pidana pemilu. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Pasal 523 ayat (1) dan (2), disebutkan bahwa pelaku politik uang dapat dipidana penjara hingga 4 tahun dan denda hingga Rp48 juta. Bahkan dalam Peraturan Mendagri terkait Pilkades, praktik suap atau gratifikasi bisa membatalkan pencalonan atau hasil pemilihan.
2. Perspektif Islam
Dalam Islam, money politik tergolong risywah (suap), yang hukumnya haram dan termasuk dosa besar. Rasulullah SAW bersabda:
> "Allah melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara suap."
(HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)
Al-Qur’an juga melarang mengambil harta dengan cara batil:
> "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui."
(QS. Al-Baqarah: 188)
3. Perspektif Agama Lain
Kristen: Dalam Amsal 17:23 disebutkan:
> “Orang fasik menerima suapan dari pundi-pundi untuk membelokkan jalan hukum.”
Ini menunjukkan bahwa suap adalah bentuk ketidakadilan yang dikutuk dalam Alkitab.
Hindu: Dalam kitab Manusmriti disebutkan,
> “Raja yang menerima suap akan kehilangan kebajikan dan menghancurkan kerajaan.”
(Manusmriti, Bab 7, Sloka 111)
Buddha: Ajaran Buddha menekankan delapan jalan benar, salah satunya adalah livelihood yang benar, yaitu mata pencaharian yang tidak diperoleh dari penipuan, penyuapan, atau kebohongan.
Menerima money politik berarti kita menjual suara kita, menjual masa depan anak-anak kita, dan menjual kesempatan untuk hidup lebih baik. Amplop yang diterima hari ini mungkin membuat dapur ngebul semalam, tapi bisa membuat negeri sengsara lima tahun.
Pilkades 2027 di Jawa Tengah harus menjadi ajang memilih pemimpin yang benar-benar amanah dan peduli, bukan yang pandai menyogok. Jangan biarkan desa-desa kita dipimpin oleh mereka yang membeli suara, karena mereka tak akan sungguh-sungguh mendengar suara rakyat.
Jangan biarkan uang receh membutakan nurani. Pilihlah pemimpin yang layak, bukan yang membayar. Karena harga diri rakyat tidak boleh bisa dibeli. Demokrasi sejati lahir dari kesadaran, bukan dari serangan fajar.
Salam Demokrasi...!!!
Oleh: Solikhan, S.Sos
Eks. Panwaslu Kecamatan Petanahan, Kebumen 2022-2025
Kader SKPP Bawaslu RI (2021)
Mantap,,👍👍👍 bgmna mengatasi hal tersebut,,
BalasHapus