Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2025

Monopoli Pangan dan Penyeragaman Selera: Krisis Identitas Makanan Pokok Indonesia

Indonesia sejak lama dikenal sebagai negeri dengan keragaman pangan yang luar biasa. Jauh sebelum negara ini mengenal konsep “beras sebagai makanan pokok nasional”, masyarakat Nusantara telah membangun sistem pangan yang adaptif terhadap alam, budaya, dan kearifan lokal. Masyarakat pegunungan hidup dari singkong, ubi, dan jagung; masyarakat pedesaan sawah menjadikan padi sebagai sumber karbohidrat utama; sementara masyarakat Papua bertahan dengan sagu yang telah menopang kehidupan mereka selama ribuan tahun. Namun, keberagaman itu kini kian tergerus oleh penyeragaman pangan yang sistematis, bahkan cenderung monopolistik. Beras sebagai Standar Tunggal: Warisan Kebijakan yang Bermasalah Penyeragaman pangan di Indonesia tidak terjadi secara alamiah, melainkan melalui kebijakan negara yang sejak lama menempatkan beras sebagai simbol kemakmuran dan stabilitas nasional. Sejak era Orde Baru, swasembada beras dijadikan proyek ideologis sekaligus politis. Negara tidak hanya mengatur produksi da...

Mengenal Syeh Junaid Al-Baghdadi

Al-Junaid bin Muhammad bin al-Junaid Abu Qasim al-Qawariri al-Khazzaz al-NahawandĂ® al-Baghdadi al-Syafi'i, atau lebih dikenal dengan Al-Junaid al-BaghdadĂ®, lahir di Nihawand, Persia, tetapi keluarganya bermukim di Baghdad, tempat ia belajar hukum Islam mazhab Imam Syafi'i, dan akhirnya menjadi qadi kepala di Baghdad. Dia mempelajari ilmu fiqih kepada Abu Tsur al-Kalbi yang merupakan murid langsung dari Imam Asy-Syafi'i. Nama lengkap beliau Abu'l-Qasim bin Muhammad al-Junayd al-Baghdadi. Beliau mendapat gelar (Islam) yaitu Sayyid at-Taifa. Beliau lahir Pada tahun 220 H sedangkan beliau wafat pada tanggal 28 Rajab tahun 298 H. Beliau gemar mempelajari Sufisme, Tasawuf, ishq, teologi, filosofi, logika, fikih. Al-Junaid mempelajari ilmu tasawuf dari pamannya sendiri, Syekh as-Sari as-Saqoti hingga pada akhirnya ketinggian ilmu Al-Junaid menjadi dirinya sebagai ulama yang memiliki banyak murid dan pengikut. Demikianlah, bahwa kecintaannya terhadap ilmu tasawuf sangatlah ting...

Program Nasional Tanpa Aparatur Berkualitas: Pembangunan yang Rentan Formalitas

Oleh: Solikhan, S.Sos Pemerintah kerap mengklaim keberhasilan program nasional melalui angka: besaran anggaran, persentase serapan, dan jumlah kegiatan yang “terlaksana”. Namun, publik jarang diajak menilai kualitas dampak kebijakan tersebut. Dalam praktiknya, banyak program berhenti pada pemenuhan indikator administratif laporan selesai, anggaran habis tanpa perubahan berarti bagi warga. Masalah ini bukan hal baru, tetapi terus berulang karena satu sebab mendasar: negara masih mengabaikan kualitas aparatur pelaksana kebijakan. Berbagai kebijakan strategis Dana Desa, pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, hingga digitalisasi pelayanan publik dijalankan oleh aparatur di tingkat paling bawah. Ironisnya, justru pada level inilah standar profesional paling longgar diterapkan. Negara rajin menuntut akuntabilitas, tetapi abai memastikan kompetensi. --- Negara Sibuk Membuat Program, Lalai Membangun Pelaksana Dalam logika kebijakan publik, program tidak dijalankan oleh regulasi, melainkan o...